BAB I
PENDAHULUAN
Ketika seorang akan berkeluarga, yang
terbayang di benaknya adalah terwujudnya keluarga sakinah, keluarga bahagia
yang tentram, damai dan harmonis. Manusia yang ingin berkeluarga harus melalui
perkawinan yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan. Menurut Undang-Undang Perkawinan Bab I Pasal 1 sebagai berikut:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, UU Perkawinan (1985:1).
Sedang menurut Zul Fajri (2008:432),
mengatakan bahwa perkawinan dalam adalah suatu ikatan suci antara dua hati dan
paduan ruh dari pasangan insane dengan menjalin kehidupan baru sebagai suami atau
istri. Allah berfirman dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 1, yang berbunyi
Artinya : “Hai sekalian manusia, bertawakallah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
istrinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertawakallah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah)hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah menjaga dan mengawasi
kamu. (QS. An-Nisa’ : 1), Depag (1989:114).
Selain sekolah dan masyarakat, keluarga
adalah lembaga pendidikan pertama yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan
pendidikan. Karena lembaga pendidikan keluarga merupakan lembaga pendidikan
yang pertama, tempat anak didik pertama-tama menerima pendidikan dan bimbingan
dari orang tuanya atau anggota keluarga lainnya.
Dari
sebuah keluarga yang kurang harmonis maka seorang anak akan hidup dalam kondisi
yang tidak nyaman. Mereka akan lebih banyak melamun tentang kondisi yang
terjadi dalam rumahnya, merekapun akan semakin malas untuk belajar yang
mengakibatkan prestasi belajar mereka rendah sehingga kurang berhasil dalam
pembelajaran. Berdasarkan keadaan-keadaan tersebut di atas, maka tertarik untuk
mengambil sebuah judul “PengaruhKeluarga
Broken Home TerhadapPrestasiSiswa”
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Broken Home
Broken home berasal
dari dua kata yaitu broken dan home. Broken berasal dari
kata break yang berarti keretakan, sedangkan home mempunyai arti
rumah atau rumah tangga (Hasan Shadily, 1996:81). Jadi broken home adalah
keluarga atau rumah tangga yang retak. Hal ini dapat disebut juga dengan
istilah konflik atau krisis rumah tangga. Di antara krisis yang terjadi dalam
rumah tangga adalah :
a.
Ketegangan hubungan atau konflik suami istri.
b.
Konflik orang tua dengan anak.
c.
Konflik dengan mertua.
d.
Konflik sesama anak.
Ketegangan suami istri merupakan krisis
yang amat mendasar dan harus segera mendapat penyelesaian, dan mengupayakan pencegahan
sebelum terjadinya konflik.Keluarga retak atau broken home dinamakan
dengan istilah keluarga kacau. Keluarga kacau adalah keluarga kurang teratur
dan selalu mendua. Dalam keluarga ini cenderung timbul konflik (masalah), dan
kurang peka memenuhi kebutuhan anak-anak. Anak sering diabaikan dan
diperlakukan secara tidak wajar atau kejam, karena kesenjangan hubungan antara
mereka dengan orang tua. Keluarga kacau selalu tidak rukun. Orang tua sering
berperilaku kasar terhadap relasi (anak). Orang tua menggambarkan kemarahan
satu sama lain dan hanya ada sedikit relasi antara orang tua dengan
anak-anaknya. Anak terasa terancam dan tidak disayang.
Hampirsepanjang waktu mereka dimarahi
atau ditekan. Anak-anak mendapatkan kesan bahwa mereka tidak diinginkan
keluarga. Dinamika keluarga dalam hanyak hal sering menimbulkan kontradiksi,
karena pada hakekatnya tidak ada keluarga. Rumah hanya sebagai terminal dan
tempat berteduh oleh individu-individu. Adakalanya suami terlalu sibuk dengan
berbagai urusan di luar rumah dan tidak mau memberikan empati (perhatian)
terhadap kesibukan istri. Suami hanya ingin memberikan hak-hak istri berupa
pemenuhan materi dan kebutuhan biologis. Namun lebih dari itu, istri memerlukan
perhatian, kasih sayang dan kemesraan hubungan. Adakalanya istri menuntut,
istri menjadi marah dan bersikap tidak hormat lagi kepada suami, yang kemudian
memiliki sikap “permusuhan” secara diam-diam atau tertampakkan. Berbagai
ketegangan dalam hidup suami istri, bisa jadi termasuk bagian dari bumbu kehidupan
rumah tangga. Tetapi bila bumbu itu berlebihan, akan mengakibatkan masakan
menjadi tidak enak atau bisa menjadi racun yang membunuh, artinya jika
ketegangan itu berlebihan bisa mengakibatkan hancurnya sebuah keluarga.
B. Pengaruh
Broken Home dalam Keluarga terhadap Prestasi Belajar Siswa
Keadaan keluarga setiap orang
berbeda-beda, ada yang harmonis karena semua kebutuhan rumah tangga terpenuhi
dengan sempurna serta suami istri merasa cukup dengan apa yang telah dimiliki
saat itu, namun tidak sedikit juga yang keadaan rumah tangganya penuh dengan
konflik, selain dilatar belakangikeadaan ekonomi kesetiaan suami istri serta
sikap tidak mensyukuri dengan apa yang ada menjadi pemicu retaknya rumah
tangga. Selain sekolah dan masyarakat, keluarga adalah lembaga pendidikan
pertama yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan. Karena lembaga
pendidikan keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama, tempat anak
didik pertama-tama menerima pendidikan dan bimbingan dari orang tuanya atau
anggota keluarga lainnya. Orang tua sekarang ini hanya memberikan kebutuhan
materi kepada anaknya, sehingga mereka menjadi pribadi yang tidak lengkap. Hal
ini dimungkinkan oleh kesibukan-kesibukan orang tua terutama yang berdiam di
kota besar dan atau ketidaktahuan orang tua dalam mendidik anak. Sebaliknya
orang tua yang bermukim di pedesaan mereka banyak yang berpendidikan rendah
dengan bekerja sebagai buruh tani, buruh pabrik dan buruh bangunan. Penghasilan
mereka sangat minim sekali, sehingga untuk mencukupi kebutuhan keluarga sangat
kurang. Hal seperti itu mengakibatkan keluarga mereka selalu ada pertengkaran
(kurang harmonis) dan akhirnya anak-anak mereka kurang mendapat perhatian dalam
belajar, jika pendidikan anak terbengkalai bisa dipastikan prestasi belajar
dari anak-anak tersebut akan rendah. Berbeda halnya jika anak tumbuh dalam
kondisi keluarga yang harmonis semua kebutuhan akan pendidikan tercukupi dengan
baik, orang tua selalu membimbing dalam belajar anak maka prestasi anakpun akan
baik (Suryabrata, 2003:250)
C. Pengertian
Keluarga
Pengertian keluarga dapat di tinjau dari
dimensi hubungan darah dan hubungan sosial, sebagaimana berikut:
1. Keluarga
dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh
hubungan darah antara satu dengan lainnya. Berdasarkan dimensi hubungan darah
ini, keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti.
2. Keluarga
dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang di
ikat oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi
antara satu dengan lainnya, walaupun diantara mereka tidak terdapat hubungan
darah. Keluarga berdasarkan dimensi hubungan sosial ini dinamakan keluarga
psikologis dan keluarga pedagogis (Scohib, 1998:17).
Dalam pengertian psikologis, keluarga
adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan
masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin, sehingga terjadi saling
mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri. Sedangkan
dalam pengertian pedagogis, keluarga adalah “satu” persekutuan hidup yang di
jalin oleh kasih sayang antara pasangan duajenis manusia yang dikukuhkan dengan
pernikahan yang bermaksud untuk saling menyempurnakan diri. Menurut David
(1998:20) yang dikutip dari buku yang berjudul “Pola Asuh Orang Tua untuk
Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri” karangan M. Shochib, mengkategorikan
keluarga dalam pengertian sebagai keluarga seimbang, keluarga kuasa, keluarga
protektif, keluarga kacau dan keluarga simbiotis:
1. Keluarga
seimbang adalah keluarga yang ditandai oleh keharmonisan hubungan (relasi)
antara ayah dengan ibu, ayah dengan anak, serta ibu dengan anak. Dalam keluarga
ini orang tua bertanggung jawab dan dapat di percaya.
2. Keluarga
kuasa lebih menekankan kekuasaan daripada relasi. Pada keluarga ini anak merasa
seakan-akan ayah dan ibu mempunyai buku peraturan, ketetapan, ditambah daftar
pekerjaan yang tidak pernah habis.
3. Keluarga
protektif lebih menekankan pada tugas dan saling menyadari perasaan satu sama
lain. Dalam keluarga ini ketidakcocokan sangat dihindari, karena lebih menyukai
suasana kedamaian.
4. Keluarga
kacau adalah keluarga kurang teratur dan selalu mendua. Dalam keluarga ini
cenderung timbul konflik (masalah) dan kurang peka memenuhi kebutuhan
anak-anak. Anak sering diabaikan dan diperlakukan secara kejam, karena
kesenjangan hubungan antaramereka dengan orang tua. Orang tua sering
berperilaku kasar terhadap anak. Hampir sepanjang waktu mereka dimarahi atau
ditekan.
5. Keluarga
simbiotis dicirikan oleh orientasi dan perhatian keluarga yang kuat, bahkan
hampir seluruhnya terpusat pada anak-anak. Keluarga ini berlebihan dalam
melakukan relasi. Orang tua banyak menghabiskan waktu untuk memikirkan dan
memenuhi keinginan anak-anaknya. Dalam kesehariannya, dinamika keluarga ditandai
oleh rutinitas kerja.
Menurut WJS. Poerwadarminta (1984:471),
keluarga adalah sebagai sanak keluarga, kaum kerabat. Sedangkan menurut Abu
Ahmadi (1985:75) berpendapat bahwa, keluarga adalah sebuah group yang terbentuk
dari perhubungan laki-laki dan wanita. Perhubungan mana sedikit banyak
berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan (mengasuh) anak-anak.
Keluarga di sini merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri,
dan anak-anak yang belum dewasa.
D.
Kondisi-Kondisi
Keluarga
Banyak sekali
kondisi-kondisi keluarga yang justru menjadi hazard (hancur) bagi setiap
anggota keluarga yang dan tentunya beresiko bagi tergangunya mental bagi para
anggotanya. Kondisi-kondisi keluarga yang dapat menjadi hazard (hancur)
diantaranya adalah :
1) Perceraian
dan Perpisahan
Perceraian dan
perpisahan karena berbagai sebab antara anak dengan orang menjadi faktor yang
sangat berpengaruh bagi pembentukan perilaku dan kepribadian anak. Kesimpulan
umum dapat di petik bahwa perceraian dan perpisahan dapat berakibat buruk bagi
perkembangan kepribadian anak (Muldjono, 2001:122).
2)
Keluarga yang Tidak
Fungsional
Keluarga yang
tidak berfungsi menunjuk pada keadaan keluarga tetap utuh (intake)
terdiri dari kedua orang tua dari anak-anaknya. Mereka masih menetap dalam satu
rumah. Jadi strukturnya tidak mengalami perubahan, hanya fungsional yang tidak
berjalan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang utuh tetapi tidak
fungsional lebih berakibat buruk pada anak.
3)
Perlakuan dan
Pengasuhan
Perlakuan
orang tua kepada anak berkaitan dengan apa yang dilakukan orang tua atau
anggota keluarga lain kepada anak. Apakah dibiarkan (meghlect)
diperlakukan secara kasar (violence) atau dimanfaatkan secara salah (abuse),
atau diperlakukan secara penuh toleransi dan menciptakan iklim yang sehat.
Semuanya mempengaruhi perkembangan anak dan mungkin juga berpengaruh pada
anggota keluarga secara keseluruhan. Tindakan keluarga yang membiarkan anak
diperlukan secara kasar atau diperlakukan yang semestinya tidak perlu, akan mempengaruhi
perkembangan mental anak.
Kondisi
keluarga yang “sehat” dapat meningkatkan kesehatan mental anak dan anggota
keluarga lainnya. Sebaliknya, kondisi keluarga yang tidak kondusif dapat
berakibat gangguan mental bagi anak, diantaranya adalah gangguan tingkah laku,
kecemasan, minder, sedih, takut, bimbang, sulit dan beberapa gangguan mental
lainnya.
E.
Arti Keluarga bagi Anak
Keluarga
mempunyai arti yang penting bagi anak, kehidupan keluarga tidak hanya berfungsi
memberikan jaminan makan kepada anak, dengan demikian hanya meperhatikan
perkembangan fisik anak, melainkan juga memegang fungsi lain yang penting bagi
perkembangan mental anak, diantaranya adalah :
a. Sosiologi
Anak
Anak
bersosialisasi yaitu belajar dalam pergaulan, pertama-tama dilakukan dalam
keluarga. Mengingat pentingnya peran keluarga bagi penyelesaian berbagai
masalah yang dihadapi anak, maka keluarga perlu menyediakan waktu untuk
berkumpul sambil minum dan makan bersama-sama yang disebut family table talk,
(http://jeffy-louis.blogspot.com/2011/02/artri-keluarga-bagi-anak.html) Jadi family
table talk mempunyai peranan yang penting karena dia tidak hanya memberikan
kesempatan kepada anak untuk mengeluarkan keluhan-keluhannya juga memberikan
bimbingan.
b. Tata
Cara Kehidupan Keluarga Tata cara kehidupan keluarga akan memberikan suatu
sikap serta perkembangan kepribadian anak yang tertentu pula. Kita akan
meninjau tiga jenis tata cara kehidupan keluarga, yaitu :
a. Tata
cara kehidupan keluarga yang demokratis
Tata cara
kehidupan keluarga yang demokratis itu membuat anak mudah bergaul, aktif dan
ramah tamah. Hal ini bukan berarti bahwa anak bebas melakukan segala-galanya
tanpa bimbingan dari keluarganya (orang tua).
b. Tata
cara kehidupan keluarga yang membiarkan
Keluarga yang
sering membiarkan tindakan anak akan membuat anak tidak aktif dalam kehidupan
sosial dan dapat dikatakan anak menarik diri dari kehidupan sosial. Hal ini
anak mengalami banyak frustasi dan mempunyai kecenderungan untuk mudah membenci
orang lain.
c. Tata
cara kehidupan keluarga yang otoriter Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang
otoriter ini biasanya akan bersifat tenang, tidak melawan, tidak agresif dan
mempunyai tingkah laku yang baik. Anak akan selalu berusaha menyesuaikan
pendiriannya dengan kehendak orang lain (yang berkuasa, orang tua).
Dengan
demikian kreatifitas anak akan berkurang, daya fantasinya juga kurang. Hal ini
mengurangi kemampuan anak untuk berfikir abstrak (Muldjono, 2001:201). Dari
tiga jenis tata cara kehidupan di atas Baldwin mengatakan bahwa lingkungan
keluarga yang demokratis merupakan tata cara yang terbaik untuk memberikan
kemampuan penyesuaian diri. Namun demikian tata cara susunan keluarga ini
kenyatannya tidak terbagi secara tajam berdasarkan ciri-ciri keluarga, yaitu
tata cara kehidupan keluarga yang demokratis, membiarkan dan tata cara
kehidupan keluarga yang otoriter.
F.
Kewajiban Orang Tua
Terhadap Anak
Mengenai
kewajiban seorang ayah dan ibu terhadap anak sudah diatur dalam Al-Qur’an surat
Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi :
Artinya
: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anak selama dua tahun penuh, yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dankewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan, karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu,
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.
(Al-Baqarah : 233), (Depag, 1989:57).
Kewajiban
ayah terhadap anak, yaitu antara lain:
a.
Mencukupi kebutuhan ekonomi, baik pangan maupun sandang, perumahan dan
kesehatan.
b.
Mendidik anak secara benar dan baik.
c.
Mengasuh anak-anak.
d.
Menentukan masa depan anak (Djaelani, 1995:208).
Hak-Hak Anak Menurut Abu Hadian
(2003:47) Hak adalah sesuatu yang harus diterima. Seorang anak mempunyai hak
dari orang tuanya, diantaranya sebagai berikut :
1. Hak
anak dalam nasab. Hak anak untuk ditetapkan atau diakui dalam susunan nasab
bukanlah hak dia sendiri sebagai satu-satunya hak yang harus dimiliki
2. Hak
mendapatkan makanan dan minuman yang dapat menumbuhkan daging dan menguatkan
tulang, yakni hak untuk disusui.
3. Hak
mendapatkan nama yang pantas hingga dia bisa dipanggil berbeda dengan orang
lain. Syari’at Islam menganjurkan bahwa memberi nama kepada anak harus nama
yang baik.
4. Hak
untuk ditebus dengan menyembelih kambing pada hari ketujuh dari kelahirannya,
dalam ilmu fiqih disebut aqiqah.
5. Hak
untuk dihilangkan penyakitnya, seperti dikhitan, dicukur dan selalu dijaga
kebersihannya. Syari’at Islam mengajak pada kebersihan, maka tidaklah aneh bila
menghilangkan kotoran dan penyakit dari anak itu merupakan suatu kewajiban.
6. Hak
untuk diasuh, dirawat dalam arti dilindungi dan dijaga. Dalam hal ini lebih
dikenal dengan sebutan hadhanah. Syariat Islam telah memberi
perlindungan terhadap keluarga dan meresmikan jalan yang lurus agar kejernihan
itu tetap langgeng dan berlanjutlah kelembutan dan kasih sayang, hingga
anak-anak hidup dalam pemeliharaan ayah dan ibu dengan penghidupan yang mulia,
jauh dari kekurangan dan ketidaklurusan.
7. Hak
untuk diberi nafkah hingga dewasa dan mampu mendapatkan rizki sendiri.
8. Hak
untuk mendapatkan pengajaran, pendidikan dan budi pekerti yang luhur. Hal ini
merupakan fase sendiri dan penyempurna terhadap kesiapan anak untuk mengarungi
samudera kehidupan.
G. Dampak Keluarga Broken
Home pada Perkembangan Remaja
1.
Perkembangan Emosi
Menurut
Hather Sall (dalam Elida Prayitno 2006 : 96) “Emosi merupakan situasi psikologi
yang merupakan pengalaman subjektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan
tubuh”.
Perceraian
adalah suatu hal yang harus dihindarkan, agar emosi anak tidak menjadi
terganggu. Perceraian adalah suatu penderitaan atau pengalaman traumatis bagi
anak (Singgih,1995:166).
Adapun
dampak pandangan keluarga broken home terhadap perkembangan emosi remaja
menurut Wilson Madeah (1993 : 42) adalah :
Perceraian orang tua
membuat terpramen anak terpengaruh, pengaruh yang tampak secara jelas dalam
perkembangan emosi itu membuat anak menjadi pemurung, pemalas (menjadi agresif)
yang ingin mencari perhatian orang tua / orang lain. Mencari jati diri dalam
suasana rumah tangga yang tumpang dan kurang serasi.
Sedangkan
menurut Hetherington (Save M.Degum 1999:197) “Peristiwa perceraian itu
menimbulkan ketidak stabilan emosi”. Ketidak berartian pada diri remaja akan
mudah timbul jika peristiwa perceraian dialami oleh kedua orang tuanya,
sehingga dalam menjalani kehidupan remaja merasa bahwa dirinya adalah pihak
yang tidak diharapkan dalam kehidupan ini. (Alex Sobur, 1985:282)Remaja yang
kebutuhannya kurang dipenuhi oleh orang tua emosi marahnya akan mudah
terpancing. Seperti yang dikemukakan oleh Hurlock (didalam Elida Priyitno. 2006
: 74) “Hubungan antara kedua orang tua yang kurang harmonis terabaikannya
kebutuhan remaja akan menampakkan emosi marah”.
Jadi
keluarga sangat berpengaruh pada perkembangan emosi remaja karna keluarga yang
tidak harmonis menyebabkan dalam diri remaja merasa tidak nyaman dan kurang
bahagia.
2.
Perkembangan Sosial
Remaja
Menurut
Brim (dalam Elida Prayitno. 2006 : 81) “Tingkah laku sosial kelompok yang
memungkinkan seseorang berpartisipasi secara efektif dalam kelompok atau
masyarakat.Dampak keluarga Broken Home terhadap perkembangan sosial remaja
menurut Sunggih D Gunawan 1995 : 108 adalah :
Perceraian
orang tua menyebabkan tumbuh pograan infenority terhadap kemampaun dan
kedudukannya, dia merasa rendah diri menjadi takut untuk meluarkan pergaualannya
dengan teman-teman.Sedangkan willson Nadeeh (1993 : 42) menyatakan bahwa :
Anak sulit menyesuaikan
diri dengan lingkungan. Anak yang dibesarkan dikeluarga pincang, cendrung sulit
menyesuaikan diri dengan lingkungan. kesulitan itu datang secara alamiah dari
diri anak tersebut.
Dan
dampak bagi remaja putri menurut Hethagton (dalam santrok 1996 : 2000)
menyatakan bahwa :
Remaja putri yang tidak
mempunyai ayah berprilaku dengan salah satu cara yang ekstrim terhadap
laki-laki, mereka sangat menarik diri pasif dan minder kemungkinan yang kedua
terlalu aktif, agresif dan genit.
Jadi
keluarga broken home sangat berpengaruh pada perkembangan sosial remaja karena
dari keluarga remaja menampilkan bagaimana cara bergaul dengan teman dan
masyarakat.
3.
Perkembangan
Kepribadian
Perceraian
ternyata memberikan dampak kurang baik terhadap perkembangan kepribadian
remaja. Menurut Westima dan Haller (dalam Syamsyu Yusuf 2001 : 99) yaitu bahwa
remaja yang orang tuanya bercerai cenderung menunjukkan ciri-ciri :
a.
Berpilaku nakal
b.
Mengalami depresi
c.
Melakukan hubungan
seksual secara aktif
d.
Kecenderungan pada
obat-obat terlarang
Keadaan
keluarga yang tidak harmonis tidak stabil atau berantakan (broken home)
merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian remaja yang tidak sehatPrilaku
menyimpang pada diri remaja dapat terjadi oleh beberapa factor, salah satunya
menurut Mujiran Dkk (1999 : 23) “Apabila ada satu atau lebih kebutuhan dasar
manusia itu tidak terpenuhi maka akan terjadi prilaku menyimpang dan merugikan
diri remaja itu sendiri maupun orang lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebuah keluarga
yang kurang harmonis maka seorang anak akan hidup dalam kondisi yang tidak
nyaman. Mereka akan lebih banyak melamun tentang kondisi yang terjadi dalam rumahnya,
merekapun akan semakin malas untuk belajar yang mengakibatkan prestasi belajar
mereka rendah sehingga kurang berhasil dalam pembelajaran.
Selain sekolah
dan masyarakat, keluarga adalah lembaga pendidikan pertama yang bertanggung
jawab atas penyelenggaraan pendidikan. Karena lembaga pendidikan keluarga
merupakan lembaga pendidikan yang pertama, tempat anak didik pertama-tama
menerima pendidikan dan bimbingan dari orang tuanya atau anggota keluarga
lainnya.
.
DaftarPustaka
Moh Shochib,Pola Asuh Orang Tua
untuk Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri. Jakarta: Rineka Cipta,
1998.
Abu
Ahmadi,. Pengantar Sosiologi. Solo: Ramadhani, 1985.
Arijo.
Cara Belajar yang Efisien. Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 1980. Zakiah Daradjat,. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan
Sekolah. Jakarta: Ruhama, , 1995. Abdul Qodir Djaelani,. Keluarga
Sakinah. Surabaya: Bina Ilmu, 1995.
M
John Echols,. &Shadily Hasan. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Hamalik,
Oemar. Metode Belajar dan Kesulitan-kesulitan Belajar. Bandung: Tarsito,
1990. Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Omar, Falsafah Pendidikan Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Purwanto,
Ngalim. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosda Karya, 1991.
Saridjo,
Marwan. Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Dep. Agama RI,
1999
Surachmad,Winarno.
Dasar dan Teknik Research. Bandung: Jammars, 1975. Suryabarta, Sumadi. Psikologi
Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Takariawan, Cahyadi. Pernik-Pernik
Rumah Tangga Islami Tatanan dan Peranannya dalam Masyarakat. Solo:
Intermedia, 1997. Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an. Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Jakarta: Departemen Agama, 1989. Zuhairini, et. al. Filsafat Pendidikan
Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Zulfajri. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Semarang: Difa Publisher, 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar