Selamat Datang Di Website Education Update Semoga Bermamfaat

Jumat, 07 November 2014

PRAKTEK PERNIKAHAN DINI DI PEDESAAN (KUBU PADI SEMANGAT BARU)




TERJADINYA PRAKTEK PENIKAHAN DINI DI PEDESAAN
KUBU PADI PARIT SEMANGAT BARU
Oleh
Sarito
A.    Pendahuluan
Istilah pernikahan dini adalah istilah kontemporer. Dini dikaitkan dengan waktu, yakni sangat di awal waktu tertentu. Lawannya adalah pernikahan kadaluwarsa. Bagi orang-orang yang hidup pada awal-awal abad ke-20 atau sebelumnya, pernikahan seorang wanita pada usia 13-14 tahun, atau lelaki pada usia 17-18 tahun adalah hal biasa, tidak istimewa. Tetapi bagi masyarakat kini, hal itu merupakan sebuah keanehan. Wanita yang menikah sebelum usia 20 tahun atau lelaki sebelum 25 tahun pun dianggap tidak wajar, "terlalu dini" istilahnya[1].
Pernikahan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara suami dan isteri. Ada pula yang memaknai pernikahan sebagai suatu bentuk ibadah kepada Tuhan yang diwujudkan dalam ikatan kuat melalui ijab dan qabul di depan penghulu dan para saksi. Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu, pernikahan bukanlah sekedar mengakhiri masa lajang saja, tetapi juga mengandung kewajiban dan tanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga[2].
Pernikahan disebut sebagai pernikahan dini ketika dilaksanakan oleh seseorang yang usianya masih belia atau tergolong anak-anak. Pernikahan dini merupakan sebuah perkawinan di bawah umur yang target persiapannya belum dikatakan maksimal – persiapan fisik, mental, material. Mengenai batasan usia pertama pernikahan ini tertera dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak. Sesuai dengan Undang-undang tersebut, anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Selama anak belum mencapai usia 18 tahun, anak masih menjadi tanggung jawab orang tua. Salah satu bentuk tanggung jawab orang tua terhadap anak adalah kewajiban untuk mencegah terjadinya pernikahan pada usia anak-anak. Dengan merujuk pada UU Perlindungan Anak ini, maka yang disebut sebagai pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan di bawah usia 18 tahun.
Bagi masyarakat di Desa Kubu Padi pada umumnya dan Parit Semangat Baru khususnya, pernikahan dini seakan menjadi trend. Padahal fakta menunjukkan bahwa pernikahan dini tidak selamanya membawa anak perempuan pada kondisi yang lebih baik. Yang kadang terjadi justru pemutusan hak pendidikan anak, maupun pembatasan kesempatan lainnya, karena pernikahan akan menarik perempuan pada urusan rumah tangga. Perempuan dan urusan rumah tangga memang tidak dapat dilepaskan dalam masyarakat tradisional. Sektor domestik dan publik menjadi pembagian yang seolah tidak bisa dipertukarkan lagi. Perempuan terkungkung pada peran-peran domestik atau sumur, dapur, dan kasur saja. Sedangkan laki-laki menempati dunia yang lebih luas karena memiliki peran sebagai pencari nafkah utama. Pernikahan dalam masyarakat tradisional menjadikan perempuan memiliki ruang yang semakin terbatas, yaitu pada ranah domestik saja dan minim akses terhadap dunia luar. Akan tetapi, hal ini tidak mengurangi keberanian dan kebersediaan anak perempuan untuk memasuki pernikahan. Pernikahan yang notabene membutuhkan kemampuan, kemauan, persiapan dari masing-masing pihak, dan menjadi simbol kedewasaan, mereka masuki pada saat usia mereka belum memadai dan kematangan fisik, mental, dan material pun belum mencukupi. Berangkat dari persoalan tersebut, tentu kemudian akan menarik untuk mengupas lebih dalam mengenai pernikahan dini di pedesaan. Praktek pernikahan dini ini sangat sering terjadi dikalangan masyarakat tradisonal terutama oleh kaum wanita, hal ini bisa disebabkan karena pandangan masyarakat terhadap jodoh, permasalahan ekonomi orang tua dan pola pergaulan kaum remaja yang hal ini akan dibahas lebih lanjut pada poin-poin dibawah ini.


B.     SETTING
Parit Semangat Baru merupakan kampung yang ada di Kalimantan Barat tepatnya di Kabupaten Kubu Raya Kecamatan Kuala Mandor B Desa Kubu Padi. Parit semangat baru terletak di Desa Kubu Padi di Kubu Padi banyak sekali beragam suku diantaranya Madura, Bugis dan Dayak Ahe. Parit Semangat Baru berbatasan dengan Parit Bugis yang semuanya beragama Islam dan Parit Babatang yang semuanya beragama Kriten. Parit Semangat Baru dibagi menjadi dua yaitu Parit Semangat Baru Darat dan Parit Semangat Baru Bawah masing-masing mempunyai RT dan RW. RT.03/RW03 ada di Parit Semangat Baru Darat  dan RT02/RW02 di Parit Semangat Baru Bawah. Yang menjadi objek disini ialah di Parit Semangat Baru Darat RT.03/RW.03.
Masyarakat kubu padi pada umumnya memiliki latar belakang pendidikan yang dibawah rata-rata. Pendidikan masyarakat disana 60% hanya pada tataran tamatan SD sederajat 30% pada tataran SMP/MTs dan SMA sederajat 10% pada tataran S1. Pekerjaan masyarakat disana disesuaikan dengan latar belakang penddikannya seperti tamatan SD, SMP dan SMA rata-rata bekerja sebagai kuli bangunan, sawit dan noreh getah karet, akan tetapi yang memiliki latar belakang pendidikan S1 mereka tidak menetap didesa akan tetapi bekerja dikota, mereka tidak memiliki upaya untuk membagun desa, memang ada sebagian dari mereka yang berupaya untuk membangun desa tapi hanya 2-4% dari 10% tersebut demikian status penghasilan atau pekerjaan. Namun pada status perkawinan disana khususnya Desa Kubu Padi 90% mereka menikah atau berumah tangga pada usia 16-17 tahun laki-laki dan wanita diperkirakan mereka semua pada tamatan SD,SMP dan SMA. Oleh sebab itu kebiasaan itu yang mereka lakukan dengan sukses lalu menjadi pandangan atau jejak untuk keturunan mereka sehingga menjamurnya kebiasaan praktek pernikahan dini.[3]
  Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh salah satu pasangan yang memiliki usia di bawah umur yang biasanya di bawah 17 tahun. Baik pria atau wanita jika belum cukup umur (17 Tahun) jika melangsungkan pernikahan dapat dikatakan sebagai pernikahan usia dini. Di Indonesia sendiri pernikahan belum cukup umur ini marak terjadi, tidak hanya di desa melainkan juga di kota. Ada banyak faktor negatif dan positif yang harus di hadapi ketika melakukan pernikahan jika belum cukup usia ini. Namun persiapan pernikahan bagi anak di bawah 17 tahun tentu harus perhatikan sebaik baiknya. Hal ini dikarenakan dapat menyebabkan mental anak menjadi berubah serta kehilangan masa remajanya.
Pernikahan dini memiliki dampak yang cukup berbahaya bagi yang melakukannya baik pria ataupun bagi wanita, dan dalam berbagai aspek seperti kesehatan, psikologi, dan mental. Walaupun pernikahan usia dini ini memiliki dampak positif, namun dibandingkan dengan faktor negatifnya tentu sangat tidak seimbang. Bayangan malam pertama yang indah tentu nantinya akan sangat tidak bermanfaat jika kedepan hanya ada kekhawatiran dan tidak bahagia. Ada berbagai alasan yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini, terkadang tidak di sengaja atau yang sudah di rencanakan, berikut adalah alasannya. Faktor yaitu Ekonomi, Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu seperti yang saya katakan diatas. Pendidikan, rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur. Faktor Orang Tua, Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya. Media Massa, Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian permisif terhadap seks. Faktor Adat, Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.
Jika hal diatas yang menjadi penyebab semuanya, seandainya para sarjana yang dari desa kemudian kembali ke desa dan membangun desa mungkin kemudian memberikan upaya untuk membangun ideologi kepada masyarakat khususnya kepada para orang tua dengan memberikan penyuluhan misalnya. Itu hanya sebagian kecil dari usaha yang bisa dilakukan oleh para sarjana, bahkan selain itu mereka bisa memberikan bantuan secara jangka panjang yaitu melalui mengembangkan pendidikan di pedesaan.
C.    KULTURAL (PANDANGAN/KEYAKINAN TENTANG JODOH) MASYARAKAT PEDESAAN
Praktek pernikahan dini dipengaruhi oleh budaya lokal. Sekalipun ada ketetapan undang-undang yang melarang pernikahan dini, ternyata ada juga fasilitas dispensasi. Maraknya tradisi pernikahan dini ini terkait dengan masih adanya kepercayaan kuat tentang mitos anak perempuan. Fenomena pernikahan diusia anak-anak menjadi kultur sebagian masyarakat Indonesia yang masih memposisikan anak perempuan sebagai warga kelas ke-2. Para orang tua ingin mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan ekonomi, sosial anggapan tidak penting pendidikan bagi anak perempuan dan anggapan negatif terhadap status perawan tua.
Pandangan masyarakat Kubu Padi umumnya dan masyarakat Semangat Baru tentang jodoh menjadi pimicu lahirnya pernikahan dini, timbul asumsi bahwa ketika memiliki anak perempuan yang dinilai sudah mampu berumah tangga walaupun secara umum dia masih dibawah umur untuk menikah, dikhawatirkan ketika semakin dewasa anak gadisnya tidak akan mendapatkan jodohnya. Selain kentalnya budaya masyarakat kubu padi yang melahirkan pernikahan dini. Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat di pedesaan khususnya kubu padi yaitu :
1.      Ekonomi, Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.
2.      Pendidikan, Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur.
3.      Faktor Orang Tua, Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.
4.      Media Massa, Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian Permisif terhadap seks.
5.      Faktor Adat, Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.
6.      Kemauan Sendiri, penelitian yang dilakukan penulis di Desa Kubu Padi Parit Semangat Baru menemukan adanya beberapa faktor yang menjadi alasan informan melakukan pernikahan usia dini. Salah satu alasan mereka melakukan perkawinan pada usia dini antara lain karena faktor kemauan sendiri. Pada zaman dahulu banyak pasangan yang melakukan pernikahan berdasarkan atas kehendak orang tua atau karena hubungan kekerabatan yang sangat akrab. Ini seringkali terjadi karena keterbatasan komunikasi antara remaja zaman dulu yang belum mengenal teknologi canggih seperti sekarang atau karena adanya larangan keluar rumah bagi anak gadis. ini membuat para gadis zaman dulu jarang bertemu dengan pemuda lain sehingga mereka sangat sulit menemukan jodoh berdasarkan kemauannya sendiri. Oleh karena itu para orang seringkali menjodohkan putra putrinya dengan keluarga atau kerabat yang sudah mereka kenal dengan baik. Pada zaman sekarang pernikahan seringkali dilakukan atas dasar suka sama suka, karena kemauan sendiri atau karena adanya perasaan saling mencintai satu sama lain. Bukan lagi karena adanya ikatan perjodohan atau karena kemauan orang tua.
7.      Pendidikan, selain itu faktor pendidikan juga menjadi salah satu penyebab terjadinya perkawinan usia dini. Rendahnya tingkat pendidikan yang bersangkutan
mendorong terjadinya pergaulan bebas karena yang bersangkutan memiliki banyak waktu luang dimana pada saat bersamaan mereka seharusnya berada di lingkungan sekolah. Banyaknya waktu luang yang tersedia mereka pergunakan pada umumnya adalah untuk bergaul yang mengarah kepada pergaulan bebas di luar kontrol mengakibatkan banyak terjadi kasus hamil pranikah sehingga terpaksa dinikahkan walaupun masih berusia sangat muda. Disamping itu adanya pandangan orang tua bahwa apabila anak gadisnya melanjutkan sekolah pada tingkat SLTA yang letaknya jauh dari rumah menyebabkan sulitnya pengawasan yang dikhawatirkan terjadinya pergaulan bebas dan seringkali berakibat pada kehamilan diluar nikah. Sehingga para orang tua berpendapat bahwa anak gadis tidak perlu bersekolah tinggi dan akan lebih aman jika dinikahkan walaupun dalam usia yang masih sangat muda. Rendahnya tingkat pendidikan orang tua mendorong terjadinya percepatan keputusan untuk segera menikahkan anak-anaknya walaupun masih dibawah umur demi untuk mengurangi beban keluarga. Apabila ini berlangsung lama dan terus menerus dari waktu ke waktu maka dapat berakibat terjadinya stagnasi pada bidang pendidikan serta memberikan dampak terjadinya kemiskinan secara turun temurun.
8.      Hamil di Luar Nikah, adapula faktor karena informan yang sudah hamil di luar nikah yang terpaksa harus dinikahkan untuk menghindari aib keluarga mereka. Begitu pula dengan keadaan di Desa Kubu Padi faktor penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur, yaitu karena orang tua lebih memilih segera menikahkan anaknya. Walaupun masih dibawah umur daripada anak perempuannya terlanjur hamil duluan. Selain itu keharusan anak untuk menaati perintah orang tuanya yaitu menikah meskipun diusia muda untuk dapat membantu perekonomian keluarga mereka[4].

Inilah yang yang jadi pemicu lahirnya praktek pernikahan dini pada hal secara kesahatan pernikahan dini ini sangat tidak baik. Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Hal ini terkait pada suatu keadaan dimana manusia dapat menikmati kehidupan seksualnya serta mampu menjalankan fungsi dan proses reproduksinya secara sehat dan aman.
Pernikahan dini sering berujung pada kerugian  baik dari segi kesehatan maupun perkembangan bagi pihak perempuan, juga menjadi isu pelanggaran HAM yang terabaikan secara luas serta biasanya dikaitkan dengan sosial dan fisik membawa dampak buruk bagi perempuan muda dan keturunan mereka. Pernikahan dini terkait dengan berkurangnya taraf hidup anak dan hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal untuk mengembangkan dirinya dikarenakan bertambahnya tanggung jawab didalam rumah tangga terutama setelah mengandung dan memiliki anak.
Dari hasil survey mengenai pernikahan dini di Kubu Padi pada beberapa perkambungan khusunya Parit Semangat Baru diambil kesimpulan penyebab dari pernikahan dini karena  pendidikan rendah dan menyebabkan anak perempuan menjadi putus sekolah dan terisolasi terhadap anak perempuan, hilangnya kesempatan meraih pendidikan formal menghambat perkembangan kualitas perempuan yang mendorong ketidak setaraan dan terhambatnya proses pemberdayaan perempuan. Secara nasional pernikahan dari kelompok umur 10 – 14 tahun yang tidak sekolah 9,5 persen serta tidak tamat SD 9,1 persen. Jika kita lihat seagala resiko yang akan dihadapi oleh pelaku pernikahan di usia dini. Berbagai dampak pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur dapat dikemukakan sebagai berikut :
1)      Dampak Terhadap Hukum
Adanya pelanggaran terhadap 3 undang-undang di negara kita yaitu : UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 6 ayat (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk: Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya.
Amanat Undang-undang tersebut di atas bertujuan melindungi anak, agar anak tetap memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi[5]. Sungguh disayangkan apabila ada orang atau orang tua melanggar undang-undang tersebut. Pemahaman tentang undang-undang tersebut harus dilakukan untuk melindungi anak dari perbuatan salah oleh orang dewasa dan orang tua.

2)      Dampak Biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak. Pernikahan pada anak perempuan berusia 9-12 tahun sangat tak lazim dan tidak pada tempatnya. ”Apa alasan ia menikah? Sebaiknya jangan dulu berhubungan seks hingga anak itu matang fisik maupun psikologis”. Kematangan fisik seorang anak tidak sama dengan kematangan psikologisnya sehingga meskipun anak tersebut memiliki badan bongsor dan sudah menstruasi, secara mental ia belum siap untuk berhubungan seks.
Ia memanbahkan, kehamilan bisa saja terjadi pada anak usia 12 tahun. Namun psikologisnya belum siap untuk mengandung dan melahirkan. Jika dilihat dari tinggi badan, wanita yang memiliki tinggi dibawah 150 cm kemungkinan akan berpengaruh pada bayi yang dikandungnya. Posisi bayi tidak akan lurus di dalam perut ibunya. Sel telur yang dimiliki anak juga diperkirakan belum matang dan belum berkualitas sehingga bisa terjadi kelainan kromosom pada bayi.

3)      Dampak psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajib 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak[6].
Banyak efek negatif dari pernikahan dini. Pada saat itu pengantinnya belum siap untuk menghadapi tanggungjawab yang harus diemban seperti orang dewasa. Padahal kalau menikah itu kedua belah pihak harus sudah cukup dewasa dan siap untuk menghadapi permasalahan-permasalan baik ekonomi, pasangan, maupun anak. Sementara itu mereka yang menikah dini umumnya belum cukup mampu menyelesaikan permasalan secara matang. Kalau kematangan psikologis tidak ditentukan batasan usia, karena ada juga yang sudah berumur tapi masih seperti anak kecil. Atau ada juga yang masih muda tapi pikirannya sudah dewasa. Kondisi kematangan psikologis ibu menjadi hal utama karena sangat berpengaruh terhadap pola asuh anak di kemudian hari, mendidik anak itu perlu pendewasaan diri untuk dapat memahami anak. Karena kalau masik kenak-kanakan, maka mana bisa sang ibu mengayomi anaknya. Yang ada hanya akan merasa terbebani karena satu sisi masih ingin menikmati masa muda dan di sisi lain dia harus mengurusi keluarganya.
4)      Dampak sosial.
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.
5)      Dampak Kesehatan:
Dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari Rumah Sakit Balik papan Husada (RSBH) dr Ahmad Yasa, SPOG mengatakan, perempuan yang menikah di usia dini kurang dari 15 tahun memiliki banyak risiko, sekalipun ia sudah mengalami menstruasi atau haid. Ada dua dampak medis yang ditimbulkan oleh pernikahan usia dini ini, yakni dampak pada kandungan dan kebidanannya. penyakit kandungan yang banyak diderita wanita yang menikah usia dini, antara lain infeksi pada kandungan dan kanker mulut rahim. Hal ini terjadi karena terjadinya masa peralihan sel anak-anak ke sel dewasa yang terlalu cepat. Padahal, pada umumnya pertumbuhan sel yang tumbuh pada anak-anak baru akan berakhir pada usia 19 tahun.
Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan, rata-rata penderita infeksi kandungan dan kanker mulut rahim adalah wanita yang menikah di usia dini atau dibawah usia 19 atau 16 tahun. Untuk risiko kebidanan, wanita yang hamil di bawah usia 19 tahun dapat berisiko pada kematian, selain kehamilan di usia 35 tahun ke atas. Risiko lain, lanjutnya, hamil di usia muda juga rentan terjadinya pendarahan, keguguran, hamil anggur dan hamil prematur di masa kehamilan. Selain itu, risiko meninggal dunia akibat keracunan kehamilan juga banyak terjadi pada wanita yang melahirkan di usia dini. Salah satunya penyebab keracunan kehamilan ini adalah tekanan darah tinggi atau hipertensi.
Dengan demikian, dilihat dari segi medis, pernikahan dini akan membawa banyak kerugian. Maka itu, orangtua wajib berpikir masak-masak jika ingin menikahkan anaknya yang masih di bawah umur. Bahkan pernikahan dini bisa dikategorikan sebagai bentuk  kekerasan psikis dan seks bagi anak, yang kemudian dapat mengalami trauma.
6)      Dampak terhadap masing-masing keluarga
Selain berdampak pada pasagan suami-istri dan anak-anaknya perkawinan di usia muda juga akan membawa dampak terhadap masing-masing keluarganya. Apabila perkawinan di antarta anak-anak merka lancer, sudah barang tentu akan menguntungkan orang tuanya masing-masing. Namun apabila sebaliknya keadaan rumah tangga mereka tidak bahagia dan akhirnya akan terjadi perceraian. Hal ini akan mengkibatkan bertambahnya biaya hidup mereka dan yang palinng parah lagi akan memutuskan tali kekeluargaan diantara kedua belah pihak.[7]
7)      Dampak terhadap anak-anaknya
Masyarakat yang telah melangsungkan perkawinan pada usia muda atau di bawah umur akan membawa dampak. Selain berdampak pada pasangan yang melangsungkan perkawinan pada usia muda, perkawinan usia muda juga berdampak pada anak-anaknya. Karena bagi wanita yang melangsungkan perkawinan di bawah umur 20 tahun, bila hamil akan mengalami gangguan pada kandungannya dan banyak juga dari mereka yang melahirkan anak yang premature.
8)      Dampak terhadap suami
Tidak bisa dipungkiri bahwa pada pasangan suami istri yang telah melangsungkan perkawinan di usia muda tidak bisa memenuhi atau tidak mengetahui hak dan kewajibannya sebagai suami istri. Hal tersebut timbul dikarenakan belum matangnya fisik maupun mental mereka yang cenderung keduanya memiliki sifat keegoisan yang tinggi.



Namun walaupun akan melahirkan dampak yang sedimikian rupa masyarakat pedesaan khususnya Desa Kubu Padi Parit Semangat baru, mereka tidak memandang itu akan berbahaya baik bagi anaknya maupun bagi hukum Indonesia, bahkan mereka menganggap ini hal yang biasa dan memang kewajiban sebagai orang tua untuk menikakahkan anaknya tanpa memandang dari berbagai sisi. Hal ini tidak bisa dianggap remeh karena dengan adanya pandangan masayarakat yang tidak selektif akan merugikan Bangsan Indonesia pada umumnya dan masyarakat pedesaan khususnya karena hilang generasi bangsa yang produktif, inofatif dan kreatif.
Pada hakekatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi positif. Kita tahu, saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Pernikahan dini merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut agar tidak terjerumus dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan.[8]
D.    MENGURANGI BEBAN ORANG TUA
Setiap orang tua memilki peran yang sangat penting terhadap anak-anaknya termasuk anak menjadi baban bagi oarang tua. Beban orang tua terhadap anak meliputi berbagai aspek diantaranya, biaya hidup anak (ekonomi), pendidikan, menikahkan. Aspek yang pertama ini memiliki urgensi yang sangat vital jika kondisi ekonomi orang tua tidak baik atau keadaannya miskin ini akan menjadi problem bagi anak-anaknya, bisa saja anak tidak akan mendapatkan haknya terhadap orang ketika di aspek sudah tidak baik.
Jika aspek kekurangan ekonomi ini yang dilanda oleh suatu keluarga maka aspek yang lain akan tidak terpenuhi misalnya fasilitas untuk dunia pendidikan.
Pernikahan dini disebabkan factor ekonomi lebih banyak dilakukan dari keluarga miskin dengan alas an dapat mengurangi beban tanggungan dari orang tua dan menyejahterakan remaja yang dinikahkan dan biasanya adanya keterpaksaan untuk melakukan pernikahan dini. Dampak menikahkan anaknya yang belum cukup umur, dampaknya bagi keluarga muda dari segi kebutuhan ekonomi akan mengakibatkan future shock atau stress,  akibat belum siapnya secara ekonomi disatu sisi dorongan konsumsi dan kebutuhan baru akibat perubahan jaman yang cepat, Keluarga Baru dari kelompok umur 10 – 14 tahun yang sama tidak bekerja 4,8 persen, masih sekolah 3,7 persen dan dikalangan petani/nelayan/buruh 6,3 persen, ketiga dari perkawinan dini yaitu  kultur/budaya/agama dimana perkawinan muda dari perdesaan lebih tinggi 6,2 persen dibandingkan perkotaan 3,4 persen, sex bebas pada remaja juga sebagai factor pendorong dari adanya pernikahan dini.
Secara hukum masalah perkawinan di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan no 1 tahun 1974, terhadap persyaratan perkawinan pada Bab II penulis mendapatkan perbedaan penafsiran pada pasal 6 dan pasal 7. Pada pasal 7 ayat 1 tertulis perkawinan diijinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun, pihak perempuan mencapai 16 tahun, pada ayat 2, pada ayat 1 bilama belum berumur ketentuan diatas dapat minta dispensasi pada pengadilan atau pejabat lain yang dimintakan oleh pihak kedua orang tua baik dari pihak pria maupun wanita, bagi penulis penafsiran berbeda terletak pada pasal 6 ayat 2 yaitu untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin dari kedua orang tua, sehinga Indonesia sampai saat ini belum mengatur usia legal minimum menkah adalah 18 tahun keatas padahal hingga tahun 2010 sudah terdapat 158 negara dengan usia legal minimum menikah 18 tahun keatas, akibatnya saat ini Indonesia masih tertinggal dari Negara lain dalam hal memberikan perlindungan anak dan usaha mengurangi terjadinya pernikahan dini.
Keutuhan atau ketahanan keluarga dipengaruhi oleh factor ekonomi dalam pengambilan keputusan keluarga, seiring arus modernisasi dan informasi (IT) yang cepat , kebutuhan konsumsi keluarga yang makin tinggi mendorong keinginan keluarga untuk meningkatkan daya beli dan mengurangi beban tekanan ekonomi. Dampak secara langsung dijumpai pada keluarga perdesaan begitu banyak dorongan kebutuhan konsumsi dan kebutuhan baru yang direspon segera, belum lagi tuntutan anggota keluarga yang tinggi akibat perubahan jaman dan arus informasi yang cepat sebagai ilustrasi pertumbuhan kendaraan roda dua di perdesaan sangat pesat.
Dalam persoalan pernikahan dini keluarga jangan sampai terjebak pada situasi disorientasi pada individu dikarenakan perubahan yang terlalu banyak dalam waktu singkat, sedangkan peran orang tua terutama wilayah perdesaan yang mempunyai anak remaja belum menikah jangan terjebak untuk mengulang kebiasaan yang sudah pernah sukses dilakukan sebelumnya menikah dini tetapi sebenarnya tidak relevan dan tidak cocok dilakukan pada keadaan saat ini, dalam hal ini menikahkan anaknya pada usia dibawah 18 tahun. 
Mengurangi pernikahan dini pemerintah mempunyai andil besar terutama meningkatkan pendidikan dengan memberikan ketersediaan atau akses secara luas melalui penambahan gedung sekolah, Sumber Daya Manusia yaitu tenaga pendidik(guru dan administrasi) terdidik dan mumpuni, sarana dan prasarana lengkap dan disesuaikan dengan kondisi sekarang, terpenting lagi biaya sekolah yang terjangkau oleh masyarakat. Perhatian pemerintah dalam meningkatkan ekonomi keluarga memberikan dampak pengurangan pernikahan dini, dalam sisi hukum melakukan regulasi terhadap undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dengan memberikan ketegasan terhadap batas umur minimal menikah, jajaran kesehatan, Badan Kependudukan dan KB, Departemen Agama, Sosial memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang peningkatan usia kawin dalam mewujudkan keluarga sejahtera dan berkualitas.
Aspek ekonomi ini yang menjadi vital bagi keluarga, ketika aspek ini tidak terpenuhi maka keluarga akan langsung memberikan aspek yang ketiga yaitu menikah. Menikahkan anak pada umumnya sangat baik jika dilakukan pada waktu yang tepat dan sesuai dengan peraturan per UU namun jika waktu nya tidak sesuai maka akan menimbulkan kemudhorotan yang cukup besar. Jika langkah pernikahan dini  yang menjadi solusi untuk mengurangi beban orang tua maka anak akan menjadi korban sejarah orang tua itu sendiri dalam catatan orang tua tersebut dulunya menikah di bawah umur. Jika pernikahan ini dibawah umur ini sudah terjadi pada remaja maka akan memutuskan harapannya untuk menikmati dunia pendidikan. Pendidikan sangat menentukan masa depan anak dan bangsa jika anak tidak mendapatkan pendidikan yang baik maka besar pengaruhnya akan terjerumus di praktek pernikahan dini.  
E.     KESIMPULAN
Daerah pedesaan sangat rentan terjadinya praktek pernikahan dini khususnya di desa kubu padi, praktek pernikanhan dini sudah menjadi trend atau sudah menjadi kebiasaan masyarakat disana. Hal ini banyak sekali yang menjadi penyebab salah satunya kultur masyarakat dalam memandang jodoh, masyarakat disana sangat menghawatirkan anaknya tidak akan mendapatkan jodoh sehingga masyarakat disana sangat terburu-buru untuk menikahkan anaknya. Memang benar dalam kewajiban untuk menikahkan anak itu adalah salah satu orang tua akan tetapi akan menjadi suatu yang tidak baik jika belum sampai waktunya hal itu dilakukan.
Penyebab selanjutnya adalah tanggungan orang tua, tanggungan orang tua ini juga menjadi faktor yang urgen, ketika orang tua memliki tanggungan yang besar akan mempengaruhi keputusan yang diambilnya. Namaun untuk lebih jelasnya disini ada beberapa faktor yaitu Ekonomi, Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu seperti yang saya katakan diatas. Pendidikan, rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur. Faktor Orang Tua, Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya. Media Massa, Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian Permisif terhadap seks. Faktor Adat, Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.
Namun jika hal itu sudah terjadi bakan tidak mungkin tidak akan ada dampaknya. Dampak dalam praktek pernikahan dini ini yaitu : Dampak Biologis, anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Dampak psikologis, Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Dampak sosial, Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Dampak UU, amanat Undang-undang tersebut di atas bertujuan melindungi anak, agar anak tetap memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Untuk mencegah dari praktek pernikahan dini ini perlu adanya peran orang tua terhadap anaknya khususnya masyarakat Kubu Padi Parit Semangat Baru, orang tua harus mementingkan pendidikan bagi anaknya dari pada mementingkan keadaan ekonominya. Selain itu perlu adanya pengawasan orang tua yang intensif terhadap anak-anaknya, karena zaman sekarang ini cepatnya transformasi terhadap masyarakat sehingga dapat mengubah pola bergaul anak dan terjerumus kedalam pergaulan, dan perbuatan prostitusi dan tindakan yang menyimpang lainnya.



Refrensi
Ahmad dan Santoso, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 1996
Alfyah, Sebab-sebab Pernikahan Dini, Jakarta, EGC, 2010
Jamali A, Undang-undang Pernikahan, Jakarta, 2008
                              


[1] Abdul Bukhari Irwan Ibnu Abas, SS, M,Hum, Pernikahan Dini
[2] Jamali A, Undang-undang Pernikahan, Jakarta, 2008

[3] Penelitan di desa kubu padi parit semangat baru
[4] Alfyah, Sebab-sebab Pernikahan Dini, Jakarta, EGC, 2010

[5] UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
[6] Noni Arni, Kuatnya Tradisi, Salah Satu Penyebab Pernikahan Dini, Sosial Budaya tanggal 16 November 2009
[8] usuf Fatawie, Santri Lirboyo Kediri, Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama dan Negara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

KARENA WANITA INGIN MEMILIH

Sepanjang sejarah sebelum datangnya islam perempuan kerap kali mengalami penderitaan. mereka diperjual belikan layaknya hewan dan barang. me...