KUBU PADI PARIT SEMANGAT BARU
Oleh
Sarito
A.
Pendahuluan
Istilah
pernikahan dini adalah istilah kontemporer. Dini dikaitkan dengan waktu, yakni
sangat di awal waktu tertentu. Lawannya adalah pernikahan kadaluwarsa. Bagi
orang-orang yang hidup pada awal-awal abad ke-20 atau sebelumnya, pernikahan
seorang wanita pada usia 13-14 tahun, atau lelaki pada usia 17-18 tahun adalah
hal biasa, tidak istimewa. Tetapi bagi masyarakat kini, hal itu merupakan
sebuah keanehan. Wanita yang menikah sebelum usia 20 tahun atau lelaki sebelum
25 tahun pun dianggap tidak wajar, "terlalu dini" istilahnya[1].
Pernikahan
adalah suatu ikatan lahir dan batin antara suami dan isteri. Ada pula yang
memaknai pernikahan sebagai suatu bentuk ibadah kepada Tuhan yang diwujudkan dalam
ikatan kuat melalui ijab dan qabul di depan penghulu dan para saksi. Sedangkan
menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan didefinisikan
sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu, pernikahan bukanlah sekedar
mengakhiri masa lajang saja, tetapi juga mengandung kewajiban dan tanggung
jawab dalam kehidupan berumah tangga[2].
Pernikahan
disebut sebagai pernikahan dini ketika dilaksanakan oleh seseorang yang usianya
masih belia atau tergolong anak-anak. Pernikahan dini merupakan sebuah
perkawinan di bawah umur yang target persiapannya belum dikatakan maksimal –
persiapan fisik, mental, material. Mengenai batasan usia pertama pernikahan ini
tertera dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak. Sesuai dengan
Undang-undang tersebut, anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia
18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Selama anak belum mencapai usia
18 tahun, anak masih menjadi tanggung jawab orang tua. Salah satu bentuk
tanggung jawab orang tua terhadap anak adalah kewajiban untuk mencegah
terjadinya pernikahan pada usia anak-anak. Dengan merujuk pada UU Perlindungan
Anak ini, maka yang disebut sebagai pernikahan dini adalah pernikahan yang
dilakukan di bawah usia 18 tahun.
Bagi masyarakat di Desa Kubu Padi pada umumnya dan Parit Semangat
Baru khususnya, pernikahan dini seakan menjadi trend. Padahal fakta
menunjukkan bahwa pernikahan dini tidak selamanya membawa anak perempuan pada
kondisi yang lebih baik. Yang kadang terjadi justru pemutusan hak pendidikan
anak, maupun pembatasan kesempatan lainnya, karena pernikahan akan menarik
perempuan pada urusan rumah tangga. Perempuan dan urusan rumah tangga memang
tidak dapat dilepaskan dalam masyarakat tradisional. Sektor domestik dan publik
menjadi pembagian yang seolah tidak bisa dipertukarkan lagi. Perempuan
terkungkung pada peran-peran domestik atau sumur, dapur, dan kasur saja.
Sedangkan laki-laki menempati dunia yang lebih luas karena memiliki peran
sebagai pencari nafkah utama. Pernikahan dalam masyarakat tradisional
menjadikan perempuan memiliki ruang yang semakin terbatas, yaitu pada ranah domestik
saja dan minim akses terhadap dunia luar. Akan tetapi, hal ini tidak mengurangi
keberanian dan kebersediaan anak perempuan untuk memasuki pernikahan.
Pernikahan yang notabene membutuhkan kemampuan, kemauan, persiapan dari
masing-masing pihak, dan menjadi simbol kedewasaan, mereka masuki pada saat
usia mereka belum memadai dan kematangan fisik, mental, dan material pun belum
mencukupi. Berangkat dari persoalan tersebut, tentu kemudian akan menarik untuk
mengupas lebih dalam mengenai pernikahan dini di pedesaan. Praktek pernikahan
dini ini sangat sering terjadi dikalangan masyarakat tradisonal terutama oleh
kaum wanita, hal ini bisa disebabkan karena pandangan masyarakat terhadap
jodoh, permasalahan ekonomi orang tua dan pola pergaulan kaum remaja yang hal
ini akan dibahas lebih lanjut pada poin-poin dibawah ini.
B. SETTING
Parit Semangat Baru merupakan kampung yang ada di Kalimantan Barat
tepatnya di Kabupaten Kubu Raya Kecamatan Kuala Mandor B Desa Kubu Padi. Parit
semangat baru terletak di Desa Kubu Padi di Kubu Padi banyak sekali beragam
suku diantaranya Madura, Bugis dan Dayak Ahe. Parit Semangat Baru berbatasan
dengan Parit Bugis yang semuanya beragama Islam dan Parit Babatang yang
semuanya beragama Kriten. Parit Semangat Baru dibagi menjadi dua yaitu Parit
Semangat Baru Darat dan Parit Semangat Baru Bawah masing-masing mempunyai RT
dan RW. RT.03/RW03 ada di Parit Semangat Baru Darat dan RT02/RW02 di Parit Semangat Baru Bawah.
Yang menjadi objek disini ialah di Parit Semangat Baru Darat RT.03/RW.03.
Masyarakat kubu padi pada umumnya
memiliki latar belakang pendidikan yang dibawah rata-rata. Pendidikan
masyarakat disana 60% hanya pada tataran tamatan SD sederajat 30% pada tataran
SMP/MTs dan SMA sederajat 10% pada tataran S1. Pekerjaan masyarakat disana
disesuaikan dengan latar belakang penddikannya seperti tamatan SD, SMP dan SMA
rata-rata bekerja sebagai kuli bangunan, sawit dan noreh getah karet, akan
tetapi yang memiliki latar belakang pendidikan S1 mereka tidak menetap didesa
akan tetapi bekerja dikota, mereka tidak memiliki upaya untuk membagun desa,
memang ada sebagian dari mereka yang berupaya untuk membangun desa tapi hanya
2-4% dari 10% tersebut demikian status penghasilan atau pekerjaan. Namun pada
status perkawinan disana khususnya Desa Kubu Padi 90% mereka menikah atau
berumah tangga pada usia 16-17 tahun laki-laki dan wanita diperkirakan mereka
semua pada tamatan SD,SMP dan SMA. Oleh sebab itu kebiasaan itu yang mereka
lakukan dengan sukses lalu menjadi pandangan atau jejak untuk keturunan mereka
sehingga menjamurnya kebiasaan praktek pernikahan dini.[3]
Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh salah satu
pasangan yang memiliki usia di bawah umur yang biasanya di bawah 17 tahun. Baik
pria atau wanita jika belum cukup umur (17 Tahun) jika melangsungkan pernikahan
dapat dikatakan sebagai pernikahan usia dini. Di Indonesia sendiri pernikahan
belum cukup umur ini marak terjadi, tidak hanya di desa melainkan juga di kota.
Ada banyak faktor negatif dan positif yang harus di hadapi ketika melakukan
pernikahan jika belum cukup usia ini. Namun persiapan pernikahan bagi anak di bawah 17 tahun
tentu harus perhatikan sebaik baiknya. Hal ini dikarenakan dapat menyebabkan
mental anak menjadi berubah serta kehilangan masa remajanya.
Pernikahan dini memiliki dampak yang
cukup berbahaya bagi yang melakukannya baik pria ataupun bagi wanita, dan dalam
berbagai aspek seperti kesehatan, psikologi, dan mental. Walaupun pernikahan
usia dini ini memiliki dampak positif, namun dibandingkan dengan faktor
negatifnya tentu sangat tidak seimbang. Bayangan malam pertama yang indah tentu nantinya akan sangat tidak
bermanfaat jika kedepan hanya ada kekhawatiran dan tidak bahagia. Ada berbagai
alasan yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini, terkadang tidak di sengaja
atau yang sudah di rencanakan, berikut adalah alasannya. Faktor yaitu Ekonomi,
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis
kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan
dengan orang yang dianggap mampu seperti yang saya katakan diatas. Pendidikan, rendahnya
tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat,
menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur.
Faktor Orang Tua, Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya
berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan
anaknya. Media Massa, Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja
modern kian permisif terhadap seks. Faktor Adat, Perkawinan usia muda terjadi
karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera
dikawinkan.
Jika hal diatas yang menjadi
penyebab semuanya, seandainya para sarjana yang dari desa kemudian kembali ke
desa dan membangun desa mungkin kemudian memberikan upaya untuk membangun
ideologi kepada masyarakat khususnya kepada para orang tua dengan memberikan
penyuluhan misalnya. Itu hanya sebagian kecil dari usaha yang bisa dilakukan
oleh para sarjana, bahkan selain itu mereka bisa memberikan bantuan secara
jangka panjang yaitu melalui mengembangkan pendidikan di pedesaan.
C. KULTURAL (PANDANGAN/KEYAKINAN
TENTANG JODOH) MASYARAKAT PEDESAAN
Praktek pernikahan dini dipengaruhi
oleh budaya lokal. Sekalipun ada ketetapan undang-undang yang melarang
pernikahan dini, ternyata ada juga fasilitas dispensasi. Maraknya tradisi
pernikahan dini ini terkait dengan masih adanya kepercayaan kuat tentang mitos
anak perempuan. Fenomena pernikahan diusia anak-anak menjadi kultur sebagian
masyarakat Indonesia yang masih memposisikan anak perempuan sebagai warga kelas
ke-2. Para orang tua ingin mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan
ekonomi, sosial anggapan tidak penting pendidikan bagi anak perempuan dan
anggapan negatif terhadap status perawan tua.
Pandangan masyarakat Kubu Padi umumnya dan masyarakat Semangat Baru
tentang jodoh menjadi pimicu lahirnya pernikahan dini, timbul asumsi bahwa
ketika memiliki anak perempuan yang dinilai sudah mampu berumah tangga walaupun
secara umum dia masih dibawah umur untuk menikah, dikhawatirkan ketika semakin
dewasa anak gadisnya tidak akan mendapatkan jodohnya. Selain kentalnya budaya
masyarakat kubu padi yang melahirkan pernikahan dini. Ada beberapa faktor yang mendorong
terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat
di pedesaan khususnya kubu padi yaitu :
1. Ekonomi, Perkawinan usia muda
terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk
meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang
dianggap mampu.
2. Pendidikan, Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak
dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih
dibawah umur.
3. Faktor Orang Tua, Orang tua khawatir
kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat
lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.
4. Media Massa, Gencarnya ekspose seks
di media massa menyebabkan remaja modern kian Permisif terhadap seks.
5. Faktor Adat, Perkawinan usia muda
terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera
dikawinkan.
6.
Kemauan Sendiri, penelitian yang dilakukan penulis di
Desa Kubu Padi Parit Semangat Baru menemukan adanya beberapa faktor yang
menjadi alasan informan melakukan pernikahan usia dini. Salah satu alasan
mereka melakukan perkawinan pada usia dini antara lain karena faktor kemauan
sendiri. Pada zaman dahulu banyak pasangan yang melakukan pernikahan
berdasarkan atas kehendak orang tua atau karena hubungan kekerabatan yang
sangat akrab. Ini seringkali terjadi karena keterbatasan komunikasi antara
remaja zaman dulu yang belum mengenal teknologi canggih seperti sekarang atau
karena adanya larangan keluar rumah bagi anak gadis. ini membuat para gadis
zaman dulu jarang bertemu dengan pemuda lain sehingga mereka sangat sulit
menemukan jodoh berdasarkan kemauannya sendiri. Oleh karena itu para orang
seringkali menjodohkan putra putrinya dengan keluarga atau kerabat yang sudah
mereka kenal dengan baik. Pada zaman sekarang pernikahan seringkali dilakukan
atas dasar suka sama suka, karena kemauan sendiri atau karena adanya perasaan
saling mencintai satu sama lain. Bukan lagi karena adanya ikatan perjodohan
atau karena kemauan orang tua.
7. Pendidikan, selain itu faktor
pendidikan juga menjadi salah satu penyebab terjadinya perkawinan usia dini.
Rendahnya tingkat pendidikan yang bersangkutan
mendorong terjadinya pergaulan bebas karena yang
bersangkutan memiliki banyak waktu luang dimana pada saat bersamaan mereka
seharusnya berada di lingkungan sekolah. Banyaknya waktu luang yang tersedia
mereka pergunakan pada umumnya adalah untuk bergaul yang mengarah kepada
pergaulan bebas di luar kontrol mengakibatkan banyak terjadi kasus hamil pranikah
sehingga terpaksa dinikahkan walaupun masih berusia sangat muda. Disamping itu
adanya pandangan orang tua bahwa apabila anak gadisnya melanjutkan sekolah pada
tingkat SLTA yang letaknya jauh dari rumah menyebabkan sulitnya pengawasan yang
dikhawatirkan terjadinya pergaulan bebas dan seringkali berakibat pada
kehamilan diluar nikah. Sehingga para orang tua berpendapat
bahwa anak gadis tidak perlu bersekolah tinggi dan akan lebih aman jika
dinikahkan walaupun dalam usia yang masih sangat muda. Rendahnya tingkat
pendidikan orang tua mendorong terjadinya percepatan keputusan untuk segera
menikahkan anak-anaknya walaupun masih dibawah umur demi untuk mengurangi beban
keluarga. Apabila ini berlangsung lama dan terus menerus dari waktu ke waktu
maka dapat berakibat terjadinya stagnasi pada bidang pendidikan serta
memberikan dampak terjadinya kemiskinan secara turun temurun.
8. Hamil di Luar Nikah, adapula faktor
karena informan yang sudah hamil di luar nikah yang terpaksa harus dinikahkan
untuk menghindari aib keluarga mereka. Begitu pula dengan keadaan di Desa Kubu
Padi faktor penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur, yaitu karena orang
tua lebih memilih segera menikahkan anaknya. Walaupun masih dibawah umur
daripada anak perempuannya terlanjur hamil duluan. Selain itu keharusan anak untuk
menaati perintah orang tuanya yaitu menikah meskipun diusia muda untuk dapat
membantu perekonomian keluarga mereka[4].
Inilah
yang yang jadi pemicu lahirnya praktek pernikahan dini pada hal secara
kesahatan pernikahan dini ini sangat tidak baik. Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah suatu keadaan
fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau
kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi
serta prosesnya. Hal ini terkait pada suatu keadaan dimana manusia dapat
menikmati kehidupan seksualnya serta mampu menjalankan fungsi dan proses
reproduksinya secara sehat dan aman.
Pernikahan
dini sering berujung pada kerugian baik dari segi kesehatan maupun
perkembangan bagi pihak perempuan, juga menjadi isu pelanggaran HAM yang
terabaikan secara luas serta biasanya dikaitkan dengan sosial dan fisik membawa
dampak buruk bagi perempuan muda dan keturunan mereka. Pernikahan dini terkait
dengan berkurangnya taraf hidup anak dan hilangnya kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan formal untuk mengembangkan dirinya dikarenakan bertambahnya tanggung
jawab didalam rumah tangga terutama setelah mengandung dan memiliki anak.
Dari hasil
survey mengenai pernikahan dini di Kubu Padi pada beberapa perkambungan
khusunya Parit Semangat Baru diambil kesimpulan penyebab dari pernikahan dini
karena pendidikan rendah dan menyebabkan anak perempuan menjadi putus
sekolah dan terisolasi terhadap anak perempuan, hilangnya kesempatan meraih
pendidikan formal menghambat perkembangan kualitas perempuan yang mendorong
ketidak setaraan dan terhambatnya proses pemberdayaan perempuan. Secara
nasional pernikahan dari kelompok umur 10 – 14 tahun yang tidak sekolah 9,5
persen serta tidak tamat SD 9,1 persen. Jika kita lihat seagala resiko yang
akan dihadapi oleh pelaku pernikahan di usia dini. Berbagai dampak pernikahan
dini atau perkawinan dibawah umur dapat dikemukakan sebagai berikut :
1) Dampak Terhadap Hukum
Adanya pelanggaran terhadap 3
undang-undang di negara kita yaitu : UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 6 ayat (2) Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat
izin kedua orang tua. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 26
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk: Mengasuh, memelihara,
mendidik dan melindungi anak. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan,
bakat dan minatnya.
Amanat
Undang-undang tersebut di atas bertujuan melindungi anak, agar anak tetap
memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari
perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi[5].
Sungguh disayangkan apabila ada orang atau orang tua melanggar undang-undang
tersebut. Pemahaman tentang undang-undang tersebut harus dilakukan untuk
melindungi anak dari perbuatan salah oleh orang dewasa dan orang tua.
2) Dampak Biologis
Anak secara biologis alat-alat
reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk
melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil
kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang
luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan
jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar
kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan
seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak. Pernikahan pada anak
perempuan berusia 9-12 tahun sangat tak lazim dan tidak pada tempatnya. ”Apa
alasan ia menikah? Sebaiknya jangan dulu berhubungan seks hingga anak itu
matang fisik maupun psikologis”. Kematangan fisik seorang anak tidak sama
dengan kematangan psikologisnya sehingga meskipun anak tersebut memiliki badan
bongsor dan sudah menstruasi, secara mental ia belum siap untuk berhubungan
seks.
Ia
memanbahkan, kehamilan bisa saja terjadi pada anak usia 12 tahun. Namun
psikologisnya belum siap untuk mengandung dan melahirkan. Jika dilihat dari
tinggi badan, wanita yang memiliki tinggi dibawah 150 cm kemungkinan akan
berpengaruh pada bayi yang dikandungnya. Posisi bayi tidak akan lurus di dalam
perut ibunya. Sel telur yang dimiliki anak juga diperkirakan belum matang dan
belum berkualitas sehingga bisa terjadi kelainan kromosom pada bayi.
3) Dampak psikologis
Secara
psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan
menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan.
Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia
sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan
akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajib 9 tahun), hak
bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam
diri anak[6].
Banyak efek
negatif dari pernikahan dini. Pada saat itu pengantinnya belum siap untuk
menghadapi tanggungjawab yang harus diemban seperti orang dewasa. Padahal kalau
menikah itu kedua belah pihak harus sudah cukup dewasa dan siap untuk
menghadapi permasalahan-permasalan baik ekonomi, pasangan, maupun anak.
Sementara itu mereka yang menikah dini umumnya belum cukup mampu menyelesaikan
permasalan secara matang. Kalau kematangan psikologis tidak ditentukan batasan
usia, karena ada juga yang sudah berumur tapi masih seperti anak kecil. Atau
ada juga yang masih muda tapi pikirannya sudah dewasa. Kondisi kematangan
psikologis ibu menjadi hal utama karena sangat berpengaruh terhadap pola asuh anak
di kemudian hari, mendidik anak itu perlu pendewasaan diri untuk dapat memahami
anak. Karena kalau masik kenak-kanakan, maka mana bisa sang ibu mengayomi
anaknya. Yang ada hanya akan merasa terbebani karena satu sisi masih ingin
menikmati masa muda dan di sisi lain dia harus mengurusi keluarganya.
4) Dampak sosial.
Fenomena sosial ini berkaitan dengan
faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang
menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks
laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun
termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin).
Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan
melahirkan kekerasan terhadap perempuan.
5) Dampak Kesehatan:
Dokter spesialis kebidanan
dan kandungan dari Rumah Sakit Balik papan Husada (RSBH) dr Ahmad Yasa,
SPOG mengatakan, perempuan yang menikah di usia dini kurang dari 15 tahun
memiliki banyak risiko, sekalipun ia sudah mengalami menstruasi atau haid. Ada
dua dampak medis yang ditimbulkan oleh pernikahan usia dini ini, yakni dampak
pada kandungan dan kebidanannya. penyakit kandungan yang banyak diderita wanita
yang menikah usia dini, antara lain infeksi pada kandungan dan kanker mulut
rahim. Hal ini terjadi karena terjadinya masa peralihan sel anak-anak ke sel
dewasa yang terlalu cepat. Padahal, pada umumnya pertumbuhan sel yang tumbuh
pada anak-anak baru akan berakhir pada usia 19 tahun.
Berdasarkan beberapa
penelitian yang pernah dilakukan, rata-rata penderita infeksi kandungan dan
kanker mulut rahim adalah wanita yang menikah di usia dini atau dibawah usia 19
atau 16 tahun. Untuk risiko kebidanan, wanita yang hamil di bawah usia 19 tahun
dapat berisiko pada kematian, selain kehamilan di usia 35 tahun ke atas. Risiko
lain, lanjutnya, hamil di usia muda juga rentan terjadinya pendarahan,
keguguran, hamil anggur dan hamil prematur di masa kehamilan. Selain itu,
risiko meninggal dunia akibat keracunan kehamilan juga banyak terjadi pada
wanita yang melahirkan di usia dini. Salah satunya penyebab keracunan kehamilan
ini adalah tekanan darah tinggi atau hipertensi.
Dengan demikian, dilihat
dari segi medis, pernikahan dini akan membawa banyak kerugian. Maka itu,
orangtua wajib berpikir masak-masak jika ingin menikahkan anaknya yang masih di
bawah umur. Bahkan pernikahan dini bisa dikategorikan sebagai bentuk
kekerasan psikis dan seks bagi anak, yang kemudian dapat mengalami trauma.
6)
Dampak terhadap masing-masing
keluarga
Selain
berdampak pada pasagan suami-istri dan anak-anaknya perkawinan di usia muda
juga akan membawa dampak terhadap masing-masing keluarganya. Apabila perkawinan
di antarta anak-anak merka lancer, sudah barang tentu akan menguntungkan orang
tuanya masing-masing. Namun apabila sebaliknya keadaan rumah tangga mereka
tidak bahagia dan akhirnya akan terjadi perceraian. Hal ini akan mengkibatkan
bertambahnya biaya hidup mereka dan yang palinng parah lagi akan memutuskan
tali kekeluargaan diantara kedua belah pihak.[7]
7)
Dampak terhadap anak-anaknya
Masyarakat
yang telah melangsungkan perkawinan pada usia muda atau di bawah umur akan
membawa dampak. Selain berdampak pada pasangan yang melangsungkan perkawinan
pada usia muda, perkawinan usia muda juga berdampak pada anak-anaknya. Karena
bagi wanita yang melangsungkan perkawinan di bawah umur 20 tahun, bila hamil
akan mengalami gangguan pada kandungannya dan banyak juga dari mereka yang
melahirkan anak yang premature.
8)
Dampak terhadap suami
Tidak bisa
dipungkiri bahwa pada pasangan suami istri yang telah melangsungkan perkawinan
di usia muda tidak bisa memenuhi atau tidak mengetahui hak dan kewajibannya
sebagai suami istri. Hal tersebut timbul dikarenakan belum matangnya fisik
maupun mental mereka yang cenderung keduanya memiliki sifat keegoisan yang
tinggi.
Namun
walaupun akan melahirkan dampak yang sedimikian rupa masyarakat pedesaan
khususnya Desa Kubu Padi Parit Semangat baru, mereka tidak memandang itu akan
berbahaya baik bagi anaknya maupun bagi hukum Indonesia, bahkan mereka
menganggap ini hal yang biasa dan memang kewajiban sebagai orang tua untuk
menikakahkan anaknya tanpa memandang dari berbagai sisi. Hal ini tidak bisa
dianggap remeh karena dengan adanya pandangan masayarakat yang tidak selektif
akan merugikan Bangsan Indonesia pada umumnya dan masyarakat pedesaan khususnya
karena hilang generasi bangsa yang produktif, inofatif dan kreatif.
Pada
hakekatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi positif. Kita tahu, saat ini
pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan
norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan
itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini
menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang
memprihatinkan. Pernikahan dini merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan
negatif tersebut agar tidak terjerumus dalam pergaulan yang kian
mengkhawatirkan.[8]
D. MENGURANGI BEBAN ORANG TUA
Setiap orang tua memilki peran yang sangat penting terhadap
anak-anaknya termasuk anak menjadi baban bagi oarang tua. Beban orang tua
terhadap anak meliputi berbagai aspek diantaranya, biaya hidup anak (ekonomi),
pendidikan, menikahkan. Aspek yang pertama ini memiliki urgensi yang sangat
vital jika kondisi ekonomi orang tua tidak baik atau keadaannya miskin ini akan
menjadi problem bagi anak-anaknya, bisa saja anak tidak akan mendapatkan haknya
terhadap orang ketika di aspek sudah tidak baik.
Jika
aspek kekurangan ekonomi ini yang dilanda oleh suatu keluarga maka aspek yang
lain akan tidak terpenuhi misalnya fasilitas untuk dunia pendidikan.
Pernikahan
dini disebabkan factor ekonomi lebih banyak dilakukan dari keluarga miskin
dengan alas an dapat mengurangi beban tanggungan dari orang tua dan
menyejahterakan remaja yang dinikahkan dan biasanya adanya keterpaksaan untuk
melakukan pernikahan dini. Dampak menikahkan anaknya yang belum cukup umur,
dampaknya bagi keluarga muda dari segi kebutuhan ekonomi akan mengakibatkan
future shock atau stress, akibat belum siapnya secara ekonomi disatu sisi
dorongan konsumsi dan kebutuhan baru akibat perubahan jaman yang cepat,
Keluarga Baru dari kelompok umur 10 – 14 tahun yang sama tidak bekerja 4,8
persen, masih sekolah 3,7 persen dan dikalangan petani/nelayan/buruh 6,3
persen, ketiga dari perkawinan dini yaitu kultur/budaya/agama dimana
perkawinan muda dari perdesaan lebih tinggi 6,2 persen dibandingkan perkotaan
3,4 persen, sex bebas pada remaja juga sebagai factor pendorong dari adanya
pernikahan dini.
Secara hukum
masalah perkawinan di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan no
1 tahun 1974, terhadap persyaratan perkawinan pada Bab II penulis mendapatkan
perbedaan penafsiran pada pasal 6 dan pasal 7. Pada pasal 7 ayat 1 tertulis
perkawinan diijinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun, pihak perempuan
mencapai 16 tahun, pada ayat 2, pada ayat 1 bilama belum berumur ketentuan
diatas dapat minta dispensasi pada pengadilan atau pejabat lain yang dimintakan
oleh pihak kedua orang tua baik dari pihak pria maupun wanita, bagi penulis
penafsiran berbeda terletak pada pasal 6 ayat 2 yaitu untuk melangsungkan
perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin dari
kedua orang tua, sehinga Indonesia sampai saat ini belum mengatur usia legal
minimum menkah adalah 18 tahun keatas padahal hingga tahun 2010 sudah terdapat
158 negara dengan usia legal minimum menikah 18 tahun keatas, akibatnya saat
ini Indonesia masih tertinggal dari Negara lain dalam hal memberikan
perlindungan anak dan usaha mengurangi terjadinya pernikahan dini.
Keutuhan
atau ketahanan keluarga dipengaruhi oleh factor ekonomi dalam pengambilan
keputusan keluarga, seiring arus modernisasi dan informasi (IT) yang cepat ,
kebutuhan konsumsi keluarga yang makin tinggi mendorong keinginan keluarga
untuk meningkatkan daya beli dan mengurangi beban tekanan ekonomi. Dampak
secara langsung dijumpai pada keluarga perdesaan begitu banyak dorongan
kebutuhan konsumsi dan kebutuhan baru yang direspon segera, belum lagi tuntutan
anggota keluarga yang tinggi akibat perubahan jaman dan arus informasi yang
cepat sebagai ilustrasi pertumbuhan kendaraan roda dua di perdesaan sangat
pesat.
Dalam
persoalan pernikahan dini keluarga jangan sampai terjebak pada situasi
disorientasi pada individu dikarenakan perubahan yang terlalu banyak dalam
waktu singkat, sedangkan peran orang tua terutama wilayah perdesaan yang
mempunyai anak remaja belum menikah jangan terjebak untuk mengulang kebiasaan
yang sudah pernah sukses dilakukan sebelumnya menikah dini tetapi sebenarnya
tidak relevan dan tidak cocok dilakukan pada keadaan saat ini, dalam hal ini menikahkan
anaknya pada usia dibawah 18 tahun.
Mengurangi
pernikahan dini pemerintah mempunyai andil besar terutama meningkatkan
pendidikan dengan memberikan ketersediaan atau akses secara luas melalui
penambahan gedung sekolah, Sumber Daya Manusia yaitu tenaga pendidik(guru dan
administrasi) terdidik dan mumpuni, sarana dan prasarana lengkap dan
disesuaikan dengan kondisi sekarang, terpenting lagi biaya sekolah yang
terjangkau oleh masyarakat. Perhatian pemerintah dalam meningkatkan ekonomi
keluarga memberikan dampak pengurangan pernikahan dini, dalam sisi hukum
melakukan regulasi terhadap undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
dengan memberikan ketegasan terhadap batas umur minimal menikah, jajaran
kesehatan, Badan Kependudukan dan KB, Departemen Agama, Sosial memberikan
sosialisasi kepada masyarakat tentang peningkatan usia kawin dalam mewujudkan
keluarga sejahtera dan berkualitas.
Aspek ekonomi ini yang menjadi vital
bagi keluarga, ketika aspek ini tidak terpenuhi maka keluarga akan langsung
memberikan aspek yang ketiga yaitu menikah. Menikahkan anak pada umumnya sangat
baik jika dilakukan pada waktu yang tepat dan sesuai dengan peraturan per UU
namun jika waktu nya tidak sesuai maka akan menimbulkan kemudhorotan yang cukup
besar. Jika langkah pernikahan dini yang
menjadi solusi untuk mengurangi beban orang tua maka anak akan menjadi korban
sejarah orang tua itu sendiri dalam catatan orang tua tersebut dulunya menikah
di bawah umur. Jika pernikahan ini dibawah umur ini sudah terjadi pada remaja
maka akan memutuskan harapannya untuk menikmati dunia pendidikan. Pendidikan
sangat menentukan masa depan anak dan bangsa jika anak tidak mendapatkan
pendidikan yang baik maka besar pengaruhnya akan terjerumus di praktek
pernikahan dini.
E. KESIMPULAN
Daerah
pedesaan sangat rentan terjadinya praktek pernikahan dini khususnya di desa
kubu padi, praktek pernikanhan dini sudah menjadi trend atau sudah menjadi
kebiasaan masyarakat disana. Hal ini banyak sekali yang menjadi penyebab salah
satunya kultur masyarakat dalam memandang jodoh, masyarakat disana sangat
menghawatirkan anaknya tidak akan mendapatkan jodoh sehingga masyarakat disana
sangat terburu-buru untuk menikahkan anaknya. Memang benar dalam kewajiban
untuk menikahkan anak itu adalah salah satu orang tua akan tetapi akan menjadi
suatu yang tidak baik jika belum sampai waktunya hal itu dilakukan.
Penyebab
selanjutnya adalah tanggungan orang tua, tanggungan orang tua ini juga menjadi
faktor yang urgen, ketika orang tua memliki tanggungan yang besar akan
mempengaruhi keputusan yang diambilnya. Namaun untuk lebih jelasnya disini ada beberapa faktor
yaitu Ekonomi, Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup
di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan
dengan orang yang dianggap mampu seperti yang saya katakan diatas. Pendidikan, rendahnya
tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat,
menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur.
Faktor Orang Tua, Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya
berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan
anaknya. Media Massa, Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja
modern kian Permisif terhadap seks. Faktor Adat, Perkawinan usia muda terjadi
karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera
dikawinkan.
Namun jika hal itu sudah terjadi
bakan tidak mungkin tidak akan ada dampaknya. Dampak dalam praktek pernikahan
dini ini yaitu : Dampak Biologis, anak secara biologis alat-alat reproduksinya
masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan
hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian
melahirkan. Dampak psikologis, Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti
tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan
dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Dampak sosial, Fenomena sosial ini
berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias
gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap
pelengkap seks laki-laki saja. Dampak UU, amanat Undang-undang tersebut di atas
bertujuan melindungi anak, agar anak tetap memperoleh haknya untuk hidup,
tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan kekerasan, eksploitasi
dan diskriminasi. Untuk mencegah dari praktek pernikahan dini ini perlu adanya
peran orang tua terhadap anaknya khususnya masyarakat Kubu Padi Parit Semangat
Baru, orang tua harus mementingkan pendidikan bagi anaknya dari pada
mementingkan keadaan ekonominya. Selain itu perlu adanya pengawasan orang tua
yang intensif terhadap anak-anaknya, karena zaman sekarang ini cepatnya
transformasi terhadap masyarakat sehingga dapat mengubah pola bergaul anak dan terjerumus
kedalam pergaulan, dan perbuatan prostitusi dan tindakan yang menyimpang
lainnya.
Refrensi
Ahmad dan Santoso, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta, 1996
Alfyah, Sebab-sebab Pernikahan Dini,
Jakarta, EGC, 2010
Jamali A, Undang-undang Pernikahan,
Jakarta, 2008
[1] Abdul
Bukhari Irwan Ibnu Abas, SS, M,Hum, Pernikahan Dini
[2]
Jamali A, Undang-undang Pernikahan, Jakarta, 2008
[3]
Penelitan di desa kubu padi parit semangat baru
[4]
Alfyah, Sebab-sebab Pernikahan Dini, Jakarta, EGC, 2010
[5] UU No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan
[6] Noni
Arni, Kuatnya Tradisi, Salah Satu Penyebab Pernikahan Dini, Sosial Budaya
tanggal 16 November 2009
[8] usuf
Fatawie, Santri Lirboyo Kediri, Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama dan Negara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar